Pages

Monday, June 13, 2016

Menjelajah Gwanghwamun, Cheonggyecheon, dan Insadong

Setelah kami beristirahat semalam dan sarapan pagi ini, kami siap memulai hari kedua kami di Seoul dan juga hari pertama kami menjelajah Seoul. Rencana hari ini adalah belajar dan bermain di Seoul Children Museum, kemudian menuju Gyeongbokgung, memelajari sejarah di Gyeongbokgung, Gwanghwamun square, lalu berjalan menikmati aliran sungai yang bersih di Cheonggyecheon dan makan malam di Insadong. Cerita khusus untuk Seoul Children Museum bisa dibuka disini. Saya sangat menyarankan untuk mengunjungi tempat ini. Sangat edukatif tetapi menyenangkan. 
Oma dan Duo Lynns memakai atribut lengkap saat keluar dari Mago, dingin soalnya.
Setelah dari Seoul Children's Museum, kami menaiki metro menuju Gyeongbokgung. Gyeongbokgung berada di line 3, sedang kami dari line 7. Maka dari Seoul Children Museum kami naik MRT yang menuju Gunja, dari Gunja kami berpindah menuju line 5 (line ungu) dengan tujuan stasiun Jongno 3-ga. Stasiun Jongno 3-Ga merupakan stasiun interchange dari 3 line yang lumayan ramai. Tetapi jangan khawatir, ikuti saja petunjuknya. Kalau berdasarkan smrt.co.kr, jika tujuan kita adalah Gyeongbokgung, disarankan untuk memilih gerbong nomor 8 dan pintu nomor 4 (8C4D atau 8 Cars 4 Doors). Kalau kita berada digerbong dan pintu yang disarankan, maka jarak tempuh untuk transfer ke line 3 akan cepat. Kalau bingung dimanakah posisi yang disarankan, seperti 8C4D (8-4), tinggal lihat tanda pada lantai dekat pintu pembatas pada platform.
Metro Lines Map, sumber foto smrt.co.kr
Sebetulnya di Seoul sendiri terdapat lima istana yang dapat dikunjungi. Ada Changdeokgung yang terkenal sebagai istana timur (karena terletak di sebelah timur Gyeongbokgung) dan huwon atau tamannya yang indah, Deoksugung yang terkenal sebagai istana dengan taman dan air mancur gaya barat, Uhnyeongung yang berada di daerah dekat Insadong, Changgyeonggung yang paling mungil dibanding istana lainnya dan terkoneksi dengan Changdeokgung, dan Gyeongbokgung yang terbesar dibanding lainnya. Bagi banyak wisatawan, Changdeokgung menjadi salah satu istana yang wajib dikunjungi karena tamannya yang bagus. Apalagi jika datang saat musim semi ataupun musim gugur, Changdeokgung dan Gyeongbokgung menawarkan tour malam yang katanya (kan belum pernah lihat) bagus sekali. Tetapi karena jalannya yang naik turun, kami memilih mengunjungi Gyeongbokgung. Kebayang kan bawa jalan oma dan anak-anak, winter pula, kami tidak berani mengambil resiko harus menggendong salah satu dari mereka.

Gyeongbokgung merupakan istana yang terbesar dan termegah yang dibangun pada masa pemerintahan dinasti Joseon pada tahun 1395. Gyeongbokgung menjadi istana utama pada masa itu. Perlu diketahui bahwa hampir semua istana di Seoul hancur pada saat invasi Jepang pada tahun 1592. Selama 276 tahun istana tersebut dibiarkan begitu saja. Pada tahun 1867 istana ini dibangun kembali. Namun pada saat tahun 1911, saat penjajahan Jepang di Korea, istana ini dihancurkan kembali dan hanya disisakan 10 bangunan utama (tidak heran di film Friends yang diperankan oleh Won Bin dan Kyoko Fukada, para sesepuh Korea tidak suka jika anak atau cucunya mendapatkan pasangan orang Jepang). Singkat cerita, setelah Jepang kalah, istana ini dibangun kembali seperti pada zaman dahulu kala.
Gyeongbokgung Map

Gyeongbokgung sendiri berarti istana yang sangat diberkati oleh surga. Untuk masuk ke dalam area ini, setiap pengunjung diwajibkan membayar harga tiket masuk sebesar 3.000 won. Di dalam area Gyeongbokgung terdapat dua musium, yaitu National Folk Museum of Korea (juga ada museum untuk anak-anak di sini) yang berisikan adat dan kebudayaan rakyat Korea dan National Palace Museum of Korea yang berisikan benda-benda kerajaan. Musium-musium ini gratis. Berdasarkan hasil googling, jika waktunya tidak banyak, disarankan untuk mengunjungi Gwanghwamun gate, Geungjeongjeon, Gyeonghoeru, Hyangwonjeong, dan Folk Museum. Dengan berbekal informasi tersebut, sampai download keterangan tentang setiap bagian istana di website Gyeongbokgung supaya pas jalan bisa cerita sama oma, kami siap mengunjunginya. Namun apa daya, setelah sampai di depan istana, oma berkata bahwa dia sudah pernah mengunjungi istana ini dulu, bentuknya mirip dengan forbidden city, dan tidak mau masuk lagi (terjemahannya: istana luas dan sudah capek naik turun tangga dan capek kalau harus masuk lagi). Memang sih sejarah Korea tidak dapat dipisahkan dari sejarah China dan memang istana ini banyak dipengaruhi dengan gaya dinasti Qing di China. Alhasil, kami membatalkan rencana untuk melihat istana, toh yang mau di-entertain di istana kan si oma. Untungnya belum beli tiket. Berhubung sudah dekat jam pergantian penjaga istana, kami menonton upacara pergantian penjaga istana. Pergantian penjaga istana ini dilaksanakan beberapa kali dalam sehari. Saya kira anak-anak akan bosan menonton ini, ternyata mereka antusias sekali. Selesai upacara pergantian penjaga, kami berjalan ke depan menuju Gwanghwamun Gate.
Persiapan pergantian penjaga istana
Gwanghwamun merupakan gerbang terbesar yang ada di Gyeongbokgung. Di depan Gwanghwamun, terdapat Gwanghwamun Square. Saya selalu bingung dengan arti square. Square di sini bukan berarti persegi ya. Kalau kata kakak saya, square itu ya seperti taman atau alun-alun. Dan memang di Gwanghwamun Square terdapat patung Raja Sejong dan admiral Yi Sun Shin. Di belakang patung Raja Sejong terdapat tangga untuk turun ke bawah, dan di bawah sana terdapat musium the Story of Sejong dan The Story of Yi Shun Shin.
Hasil foto di area Gwanghwamun
Raja Sejong, terkenal dengan Sejong the Great, merupakan raja keempat di masa dinasti Joseon. Raja Sejong memerintah selama 32 tahun. Beliau sangat berjasa dalam sejarah Korea, tidak heran rakyat Korea sangat bangga terhadap beliau. Salah satunya adalah tulisan Hangeul yang sekarang ada. Pada awalnya, orang Korea menggunakan tulisan yang disebut Hanja (Hanzhi dalam bahasa mandarin dan kanji dalam bahasa Jepang) yang diadaptasi dari karakter tulisan mandarin. Sayangnya hanya orang-orang terpelajar yang menggunakan tulisan ini. Karena ingin memajukan rakyatnya, dan juga menciptakan identitas budaya Korea melalui skrip yang unik, maka Raja Sejong menciptakan tulisan hangeul yang terdiri dari 28 huruf alfabet Korea, yang sekarang banyak terlihat di film-film Korea. Dengan sistem seperti ini, maka orang yang tidak pernah belajar Hangeul pun dapat membaca tulisan dalam waktu cepat, walau belum tentu tahu artinya. Hangeul ini diciptakan berdasarkan bentuk mulut, lidah, dan gigi saat melafalkan suatu karakter. Tulisan ini hampir sama dengan alfabet. Sehingga mudah sekali untuk dipelajari.

Bagi yang mau menulis nama sendiri dalam aksara Hangeul, disediakan kertas dan kuas (mao pi). Anak-anak menulis nama mereka, tentunya adik dibantu papa. Setelah itu boleh ditempel di sana. Tapi karena tembok sudah penuh, maka punya kakak dan adik tidak ditempel. Sempat terjadi drama, yang tidak penting sih. Kakak melihat ada yang kertas yang berisi aksara hangeul dan dihiasi oleh gambar hati warna merah muda. Jadinya ekspektasi kakak adalah setelah menulis namanya, akan ada tinta warna merah muda dan dia dapat menggambar hati dan mewarnainya. Kakak tidak tahu itu hanya contoh saja. Dimulailah drama babak satu. Tetapi karena itu sesuatu yang tidak mungkin dilakukan, akhirnya setelah dijelaskan, kakak mengerti juga.

Di museum ini juga ada kursi raja yang boleh diduduki, tetapi harus buka sepatu. Berhubung repot dan anak-anak mau ke toilet, jadi kami tidak mendudukinya. Untuk urusan ke toilet, sebaiknya jangan ditunda-tunda. Dengan layering, urusan ke toilet bisa jadi lama. Dan saat masuk toilet, Duo Lynns senang sekali. Kenapa? Karena ada toilet ukuran anak-anak. Gak penting sih, tapi buat mereka ini penting sekali =)) 

Satu abad setelah Raja Sejong, muncullah seorang tokoh besar yang sangat dikagumi oleh rakyat Korea. Admiral Yi Sun Shin (atau ada juga yang bilang Li Sun Shin). Marga Raja Sejong dan Admiral Yi itu sama, yaitu Li, yang dalam penulisan bahasa Mandarin sama dengan marga Jet Li. Admiral Yi merupakan seorang laksamana besar Korea di masa pemerintahan Joseon. Admiral Yi berjasa dalam peperangan melawan Jepang saat masa invasi Jepang di tahun 1590an. Beliau terkenal dengan strategi militernya di perang myeongnyang, memerangi 133 kapal Jepang dengan 13 kapal dan menang tanpa kehilangan satu dari 13 kapal ini. Saat membaca cerita ini, saya jadi teringat kisah samkok atau tiga negara. Agak mirip rasanya. Atas dedikasinya, Admiral Yi mendapatkan banyak gelar. Satu yang paling saya ingat adalah Chungmugong, yang artinya Duke of Loyalty and Warfare. Jadi stasiun Chungmuro berasal dari cerita Chungmugong, Admiral Yi. 

Nuansa yang ada di area The Story of Admiral Yi sangat berbeda dari area sebelumnya. Di area King Sejong lebih banyak dipaparkan mengenai pemerintahan dan hangeul. Tetapi saat memasuki area Admiral Yi, kami serasa dibawa kembali ke jaman perang dengan Jepang. Di tengah-tengah hall terdapat kapal yang disebut turtle ship atau kapal kura-kura atau 거북선 geobukseon. Awalnya saat mendengar namanya, saya kira bentuk kapalnya seperti kura-kura, atau setidaknya kepala kapal yang biasanya seperti kepala naga menjadi kepala kura-kura. Tetapi saat saya melihatnya, kepala kapal tetaplah kepala naga. Ternyata diberi nama kapal kura-kura karena sistem proteksinya seperti cangkang si kura-kura. Yang menjadi inovasi dari kapal ini adalah adanya meriam dibagian bawah kepala naga dan dari mulut naga tersebut dapat keluar api. 
Atas: disain turtle ship dan patung Admiral Yi. Bawah: Replika turtle ship di hall.
Sumber foto: wikipedia dan TripAdvisor.
Kami masuk ke dalam replika kapal tersebut. Di dalamnya terdapat replika orang-orang yang sedang menyiapkan amunis untuk meriam, orang-orang yang sedang menggerakkan dayung dari dalam, area untuk membuat strategi dan area untuk memasak. Lalu adik bertanya dimana mereka pipis dan mandi. Hmm.... Memang tidak ada tulisan toilet di dalam kapal tersebut. Saya segera menjawab mungkin dekat dapur (soktahu.com). 

Di depan replika kapal tersebut terdapat blocks kayu kapal kura-kura. Anak-anak mencoba untuk merangkai blocks tersebut menjadi kapal kura-kura. Ternyata kapal kura-kura sudah beberapa kali direvisi, disesuaikan dengan kebutuhan perang mungkin. 

Di sebelah blocks tersebut terdapat tempat untuk berfoto, seperti di restoran Mujigae. Mereka memberikan frame dan kita menyesuaikan muka kita ke frame yang ada. Anak-anak menyempatkan berfoto dengan frame tersebut dan menuliskan nama mereka dalam aksara Hangeul di frame tersebut. 

Di sebelahnya lagi, terdapat game interaktif tembak meriam. Jadi kita seakan berada di dalam kapal, menembaki kapal lain (di layar yang besar) dengan meriam. Lumayan menghibur anak-anak. Setelah itu kami keluar dari museum ini.

Untuk keluar, kita tidak perlu kembali ke area awal lagi. Ikuti petunjuknya dan kita sudah sampai di depan Sejong Center, seberang patung Admiral Yi. Jam menunjukkan pukul 16.10 (yang artinya kami hanya menghabiskan waktu kurang lebih 40 menit di dalam), tetapi hawanya semakin dingin. Repotnya jalan saat winter adalah syal, topi, dan sarung tangan akan bolak-balik keluar dari kantong mamanya. Apalagi anak-anak suka bosan menggunakan perlengkapan tersebut. Alhasil kantong jaket mamanya sudah seperti buntelan tebal, berisi perlengkapan anak-anak. Kami berhenti terlebih dahulu untuk memakaikan sarung tangan dan topi.

Tujuan kami berikutnya adalah Cheonggyecheon. Mudah sekali untuk mencari Cheonggyecheon. Cari saja spring, yaitu spiral tinggi yang seperti seashell besar atau tanduk unicorn. Dari arah kami keluar, Cheonggyecheon terletak di sebelah kiri Gwanghwamun Square. Kami berjalan menyeberang jalan menuju Cheonggyecheon. Banyak yang bilang kalau sudah sampai Seoul jangan sampai melewatkan  tempat ini.

Cheonggyecheon stream awalnya adalah bantaran kali yang kumuh, mirip dengan sungai Ciliwung. Sungai ini bau dan kotor. Ditambah lagi banyak pemukiman dadakan yang muncul di sekitarnya. Pada bulan Juli tahun 2003, seorang mayor Seoul, Lee Myung Bak, melakukan restorasi besar-besaran. Pemukiman di sekitarnya dipindahkan, Sungai dibersihkan dan dijernihkan. 

Tentu saja banyak perlawanan, demonstrasi yang dilakukan pihak tertentu atas gagasan ini. Namun restorasi tetap dilakukan. Pada tahun 2005, di bulan September, sungai ini dibuka untuk publik. Walau menelan biaya sebesar 386 milyar won atau setara dengan 281 juta USD, namun hasilnya seperti yang dapat dilihat, sungguh memuaskan. Aliran sungai jernih, anak-anak dapat bermain-main tanpa kuatir air yang kotor, dan banyak pengunjung baik lokal maupun asing yang ingin melihat dan menikmati pemandangan di sini. Yang berarti menambah devisa negara. Hmm...sedikit bermimpi sungai Ciliwung akan seperti ini...

Sungai ini panjang sekali, sekitar 10,9 km. Jadi kalau mau berjalan, disarankan memilih bagian yang diinginkan. Kalau semua, bisa berkonde betis kakinya. Dan sepanjang sungai ini, mereka mempunyai bagian-bagian tertentu yang menjadi daya tarik bagi pengunjung, seperti papan seni, musium Cheonggyecheon, hiasan dan sebagainya. Untuk menikmati tempat ini, dianjurkan sih datang dua kali, saat matahari masih bersinar dan saat malam. Namun karena sudah kedinginan, kami tidak menunggu sampai malam. Kami berencana untuk naik tangga di dekat daerah Jonggak.
Bagus kan dekorasi di Cheonggyecheon
Seharusnya kami naik tangga dekat jembatan Gwanggyo, lalu setelah melewati Jongno Tower kami mengambil jalan yang menuju Insadong. Tetapi entah bagaimana ceritanya, kami terlalu cepat belok ke kanan. Udara yang dingin ditambah angin dan tangga dimana-mana membuat oma ngos-ngosan. Kami berjalan menuju Insadong, tetapi rasa dinginnya semakin terasa.
Cheonggyecheon Stream beserta atraksinya
Alhasil, begitu melihat orang berjualan kue kacang merah, kami menepi dan membeli. Si penjual adalah ahjussi dan ahjumma. Ajumma sepertinya tuli dan bisu, tetapi saya salut melihat mereka begitu kompak. Kue kacang merah yang panas itu tetap terasa nikmat dan menghangatkan badan. Kakak yang biasa tidak suka kue panas, kali ini makan dengan lahap. Kedinginan ya, kak. 

Karena kami sudah sampai perempatan dan tidak terlihat petunjuk-petunjuk yang sudah kami lihat di peta, maka kami mencoba bertanya. Dan herannya, saat kami menyebut Insadong, tidak ada satupun yang mengerti. Di tengah kebingungan kami, adik meminta untuk ke toilet. Makin bingunglah kami. Celingak-celinguk, toleh kanan kiri, akhirnya terlihat tulisan Burger King. Maka kami masuk dan menuju ke toilet. 

Saat kami keluar, kami sudah mulai hopeless untuk makan di Tobang Insadong. Saya mencoba bertanya kepada anak kuliahan yang rasanya bisa bahasa Inggris. Puji Tuhan, pemuda ini dapat memberi tahu arah menuju Insadong. Saya mengeluarkan peta, dan dia memberi tahu posisi kami saat ini. Ternyata kami hanya tinggal 1 blok lagi menuju Insadong. Kami pun bersemangat kembali untuk berjalan menuju Insadong. 


Peta Insadong
Bagi para turis, Insadong merupakan daerah yang terkenal penuh dengan kebudayaan Korea. Bahkan ada yang berkata, masuk ke area jalan Insadong, maka serasa kembali ke Korea zaman dahulu. Segala benda-benda yang tradisional dan unik pun dapat ditemukan di sini. Maka jangan heran kalau masih banyak aksara Hanja ditemukan di daerah ini.

Insadong menjadi tempat turis-turis untuk cuci mata, membeli suvenir dan menikmati makanan-makanan yang enak. Di Insadong ada tiga tourist information Center. Dan di TIC tersebut, pengunjung dapat berfoto menggunakan pakaian tradisional Korea, hanbok. Tetapi tidak gratis alias harus bayar. Kami sih rencananya mau foto ke Myeongdong TIC besok, karena gratis (tetep, emak-emak). 

Ada juga bangunan dengan nama Ssamjigil. Ssamjigil merupakan bangunan empat lantai yang tidak menggunakan lift ataupun eskalator. Sama seperti Mall Citraland di Grogol, jika kita menyusuri jalan di dalam bangunan itu, lama-lama kita bisa sampai ke lantai teratas. Di sini banyak sekali benda-benda seni dan suvenir. Harga suvenirnya bisa jadi mungkin diatas suvenir di Namdaemun market, tetapi kualitasnya lebih bagus. Selain itu dibagian atas juga ada gembok cinta, seperti di N Seoul Tower. Oya, di lantai dasar gedung ini terdapat snack yang bernama poo bread. Mirip seperti manjoo yang berisi kacang merah, tetapi bentuknya seperti p*p. Waktu belum jalan ke Korea, kami berniat sekali untuk mencobanya (wong dulu pernah coba makan di Modern Toilet Mongkok). Sayangnya kami tidak jadi mampir Ssamjigil, anak-anak dan oma sudah kelelahan dan lapar. 
Poo bread di Samjigil, sumber foto: korea.net
Setelah melewati Ssamjigil kami sampai di Tobang. Tobang 토밯 merupakan rumah makan yang terkenal enak dan murah. Biasanya kalau di Insadong satu porsi makanan bisa sekitar 10.000 won. Daerah turis sih. Makanya sebelum pergi, saya mencari tempat makan yang enak tapi tidak menguras kantong. Biasanya rumah makan yang enak itu ditandai dengan banyaknya orang lokal yang makan di situ. Dan muncullah nama Tobang. 
Tulisan Tobang dalam Chinese Character, posisi Tobang dekat dengan Ssamjigil. Sumber foto: visitkorea.or.kr

Saat kami masuk, memang betul banyak orang lokal yang sedang makan. Dan heater di dalam begitu hangat rasanya. Kami duduk dan memesan dried pollack soup(sup bening dengan potongan ikan kering, tidak pedas), bibimbap, dan pajeon (seafood pancake). Harga semua sup dan bibimbap di situ sama, yaitu 6.000 won. Sedang pajeon 14.000 won. Tetapi porsinya besaaaar sekali. Lebih besar dari yang di Indonesia. Oya, jangan dikurskan ya, pasti rasanya sakit hati. Tetapi untuk makanan di daerah yang banyak turisnya, harga segitu termasuk murah. Belum lagi ditambah dengan banchan atau side dish. Ada kimchi, sayur bayam, dan raw crab yang dibuat kayak kimchi. Semua side dish free refill, kecuali yang raw crab. Kalau mau lagi harus bayar 3.000 won per porsi. Bagaimana dengan rasanya? Perfect.... Apalagi kedinginan dan kelaparan =)) 

Melihat adik yang biasanya makan lama, tetapi kali ini bisa makan cepat dan nambah pula, rasanya senang sekali. Saya menambah banchan dua kali, kimchinya enak sekali. Bahkan si oma yang paling suka komplain makanan tidak enak pun semangat makan kimchi dan raw crab. Di belakang kami juga ada oma dan opa yang semangat makan raw crab. Rasanya tidak sia-sia jalan jauh dan kedinginan, tetapi dapat menikmati makanan di sini. Andai tadi kami pasrah dan makan Burger King, kami kehilangan menikmati makanan Korea yang otentik. Hehehe

Oya, enaknya jalan-jalan di seoul, kita hanya cukup berbekal botol air putih. Banyak tempat yang menyediakan keran air minum. Lalu kalau makan di restoran Korea, air putih itu gratis. Dengan kenyang kami melanjutkan perjalanan kembali ke Mago. Kalau tadi kami datang dari arah Jonggak, maka kami pulang ke arah depan menuju stasiun Anguk. 

Petualangan hari ini selesai saat kami tiba di Mago. Kami sempat bertemu turis dari Filipina yang tadi pagi jalan-jalan ke Nami Island dan Petite France. Ibu dan anak laki-lakinya ini dengan semangat bercerita bahwa di sana sangat bagus. Mereka menyarankan kami untuk membawa anak-anak ke sana. Mungkin lain kali ya Auntie. Tunggu anak-anak besar, kalau sekarang cuma mama dan papanya yang tahu tentang Bae yong Jun dan Choi Ji Woo.  




Sekilas Informasi
Gyeongbokgung
Jam operasi: 09.00 - 18.30 (kecuali winter hanya sampai jam 17.00), tutup setiap Selasa
HTM:
19 - 64 tahun: 3.000 won (2.400 won untuk group dengan peserta lebih dari 9 orang)
7 - 18 tahun: 1.500 won (1.200 won untuk group dengan peserta lebih dari 9 orang)
0 - 7 tahun 65 tahun keatas gratis (bawa kartu identitas atau passport)
Tersedia juga tiket kombinasi 10.000 won untuk mengunjungi Gyeongbokgung, Deoksugung, Changgyeonggung, Changdeokgung dan tamannya, Jongmyo Shrine)
Tour dalam bahasa asing (free):
Inggris: 11.00, 13.30, 15.30
Mandarin: 09.30, 11.00, 13.30, 15.00, 26.30
Jepang: 10.00, 12.30, 14.30
Cara menuju ke sana: Stasiun Gyeongbokgung (line 3) exit 5

Gwanghwamun Square
Jam operasi: 24 jam
HTM: free
Cara Menuju ke sana:
Stasiun Gwanghwamun (line 5) exit 2
Stasiun Gyeongbokgung (line 3) exit 5

The Story of King Sejong and The Story of Admiral Yi Sunshin
Jam operasi: 10.00 - 20.00, tutup setiap Senin. 
HTM: free
Cara menuju ke sana:
Stasiun Jonggak (line 1) exit 1, lalu berjalan ke arah Gwanghwamun
Stasiun Gyeongbokgung (line 3) exit 6, berjalan menuju Sejong-ro
tasiun Gwanghwamun (line 5) exit 2

Cheonggye Plaza
Jam operasi: 24 jam
HTM: free 
Cara menuju ke sana: Stasiun Gwanghwamun exit 5

Insadong
Cara menuju ke sana: Stasiun Anguk (line 3) exit 6
Downtown Seoul Map
Note: Untuk cerita lebih lengkap mengenai liburan kami di Seoul, silakan klik link berikut ini.

No comments:

Post a Comment