Jika kita melalui daerah Gadjah
Mada, pastilah kita sering melihat suatu rumah tua yang dikelilingi oleh gedung
bertingkat dan hotel Novotel. Selama ini kami selalu bingung dan berpikir bahwa
itu hanya rumah biasa. Penasaran juga untuk mampir, namun karena tidak pernah
ada kepentingan di daerah itu, maka kami tidak pernah mampir ke situ.
Pintu masuk |
Di Zi Gui |
Nah, bulan Maret yang lalu,
sahabat kami menginap di hotel Novotel. Karena anak-anak ingin bermain bersama,
maka kami, mama-mama, mulai memikirkan mau melakukan aktivitas tapi tidak usah
jauh-jauh. Akhirnya kami pun mulai searching dan menemukan nama Chandra
Naya. Karena melihat review
yang bagus dari tempat ini, maka kami pun berpikir untuk mengunjungi tempat
ini.
36 Strategies |
Lukisan dinding dan hiasan lainnya. |
Untuk memasuki rumah ini tidaklah dikenakan biaya. Namun kita tidak boleh
memotret dengan kamera dengan resolusi tinggi. Bahkan walau dengan handphone pun, kami diminta untuk
menghubungi pengelola dan beliau memastikan bahwa gambar-gambar ini tidak untuk
dikomersilkan.
Bagian depan ruang tengah rumah. |
Chandra Naya, atau Sing Ming Hui, merupakan bangunan seluas 2.250 meter
persegi ini memiliki arsitektur yang khas. Berdasarkan catatan yang ada di
samping pintu gerbang utama, rumah ini sudah ada kurang lebih antara tahun 1806
atau 1867. Rumah ini disebut sebagai Rumah
Mayor karena dulu rumah tersebut adalah kantor dan tempat tinggal Mayor
Tionghoa Khouw Kim An yang lahir di Batavia 5 Juni 1879. Menurut sejarah, Khouw
Kim An merupakan mayor Tionghoa sesudah Mayor Tio Tek Ho (yang kediamannya di
bangunan Toko Kompak di Pasar Baru) dan merupakan mayor Tionghoa terakhir. Jabatan
Mayor diemban Khouw Kim An pada tahun 1910-1942. Mayor adalah sebuah jabatan
yang diberikan oleh pemerintahan Hindia Belanda untuk bertanggung jawab atas
urusan yang ada di etnisnya. Jabatan itu menunjukkan bahwa tuan rumah tersebut
berstatus sosial tinggi.
Khouw Kim An |
Mengapa hanya sampai tahun 1942? Karena pada tahun 1942 Jepang masuk ke
Indonesia dan Mayor Khouw Kim An ditangkap oleh Jepang dan ditahan di kamp
konsentrasi hingga akhirnya meninggal di sana pada 13 Februari 1945. Makamnya dapat ditemui di komplek makam Petamburan. Di sana dikuburkan keluarga Khouw, termasuk O.G.
Khouw, sepupu Khouw Kim An yang terkenal sebagai pengusaha dan filantropis
ternama. Makam O.G. Khouw disebut sebagai makam dengan mausoleum (pelindung
makam) paling megah di Asia Tenggara.
Jangan Marah :) |
Saat masa penjajahan Jepang,
Candra Naya sempat menjadi kantor Sing Ming Hui, perkumpulan orang Tionghoa
dengan tujuan sosial. Perkumpulan inilah yang akhirnya mencetuskan Yayasan
Tarumanagara yang akhirnya membuat Universitas Tarumanegara. Setelah Indonesia
merdeka, akhirnya Sing Ming Hui berubah nama menjadi Candra Naya, seperti yang
kita ketahui sekarang. Candra Naya juga pernah menjadi lokasi kuliah mahasiswa
Universitas Tarumanagara, dan menjadi tempat penyelenggaraan Indonesia Open
atau pertandingan bulu tangkis tingkat internasional pertama di Indonesia.
Hiasan di dalam rumah. |
Bangunan ini luas dan besar sekali dan sempat tidak terawat. Saat dibeli
oleh developer, sepertiga dari bangunan tetap dipertahankan dan menjadi cagar
budara karena rumah ini menjadi saksi bisu dari sejarah Tiong Hoa di tanah air.
Di area ini juga ada banyak bangunan tambahan, salah satunya Kedai Kopi Oey, dan
juga bangunan-bangunan lainnya.
Kolam dengan bangunan megah di belakangnya |
Kunjungan kami di tempat ini tidak begitu lama, karena di bangunan ini
sedang ada renovasi. Namun kami menikmati melihat bangunan cagar budaya dan
nilai-nilai filosofi yang ada di sini. Dan serunya, kami seperti diajak masuk
ke dua masa, yaitu masa peranakan dan masa sekarang dengan bangunan yang
modern.
Tanaman hias dengan kolam. |
Sekilas Informasi
Gedung Chandra Naya
Alamat: Jl. Gadjah Mada no 188, Glodok. Jakarta Barat 11120
Jam Operasional: 08.00 - 15.00
No comments:
Post a Comment